Pulau Bali terkenal
dengan julukan Pulau Dewata. Nama tersebut berkaitan erat dengan julukan Pulau
Seribu Pura, yang mana hampir setiap jengkal tanah di Pulau Bali terdapat
bangunan Pura. Keberadaan tempat suci Pura tersebut selain menjadi stana roh
leluhur, juga menjadi stana para Dewa yang merupakan manifestasi Ida Sang Hyang
Widhi atau Tuhan Yang maha Esa.
Bali adalah salah
satu kota paling religius di Indonesia, maka tidak heran kehidupan warganya
tidak lepas dari adat dan aturan Agama. Kehidupan masyarakat Bali tidak lepas
dari kegiatan ritual (Yadnya). Menurut keyakinan masyarakat Bali khususnya umat
Hindu dengan Yadnya akan tercipta
keseimbangan alam.
Yadnya tidak bisa
lepas dari kehidupan perempuan di Bali. Perempuan di Bali memang dituntut
banyak menguasai hal yang berkaitan dengan proses ritual, persembahyangan, adat
dan budaya serta prosesi upacara adat sesuai tata cara Hindu. Salah satu yang
wajib perempuan Bali kuasai adalah Mejejaitan.
Mejejaitan adalah
membuat berbagai sarana persembahyangan yang terbuat dari daun kelapa atau
janur, daun ental dengan berbagai pendukungnya seperti bunga dan buah.
Mejejaitan artinya menjahit bahan seperti janur untuk dibuat wadah atau sarana
persembahyangan untuk membuat banten atau sesaji dalam ritual upacara maupun
saat hari raya.
Setiap hari para kaum
perempuan mempersembahkan upacara yadnya
atau persembahyangan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Persembahyangan
atau ritual yang dilakukan sebagian besar dilakukan oleh perempuan, ini sudah
menjadi tradisi yang turun temurun. Oleh sebab itu seorang perempuan Bali harus
bisa mejejaitan.
Bagi remaja putri,
pada saatnya nanti akan menikah dan sudah menjadi tradisi seorang perempuan
Bali harus tinggal di rumah suami dan melakukan ritual atau persembahyangan
yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu budaya mejejaitan ditak
bisa dihilangkan dari kehidupan masyarakat Bali. Karena mejejaitan itu seperti
sebuah terapi pikiran.
Kenapa disebut sebuah
terapi pikiran karena pada saat pembuatan jejaitan yang berisi goresan-goresan
pada janur, kita harus berkonsentrasi, agar apa yang kita buat bisa tampil
bagus, benar dan memiliki nilai seni. Secara tidak langsung pikiran kita
terpusat kepada satu objek, yaitu benda di tangan kita, tidak ada pikiran lain,
kerumitan masalah sirna saat itu. Seperti sebuah meditasi yang bisa menenangkan
pikiran, apalagi kita buat untuk sarana persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Dalam aktivitas
mejejaitan bersama keluarga, ada konsep kebersamaan, duduk bersama, orang tua
bisa lebih dekat berkomunikasi dengan anak, merekatkan hubungan keluarga,
mengajarkan mereka nantinya bersosialisasi saat ada upacara keagamaan.
Karena di Bali
dikenal dengan gotong royong (ngopin) ke rumah tetangga atau di banjar, budaya
ini harus ditanamkan dari kecil, karena ada perasaan bangga dan suatu kelebihan
jika anak-anak remaja putri bisa mejejaitan.
Sehingga sedikitnya kita bisa mendukung ajeg Bali yang kita
dengung-dengungkan. Ajeg Bali akan tetap menjaga citra Bali yang tetap berakar
kepada kearifan lokal, budaya dan tradisi. Untuk melestarikan budaya mejejaitan
sebagai sebuah warisan, diperlukan peran
orang tua dan instansi pendidikan.
Jika dikaitkan dengan
pendidikan formal pembelajaran berbasis kearifan lokal dipandang sangat
penting. Dan hal ini sudah tertuang di
dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
bab X pasal 36 ayat 2 yang berbunyi kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diverifikasi dengan satuan pendidikan,
potensi daerah, dan peserta didik. Artinya masing-masing satuan pendidikan
dapat mengembangkan muatan lokal sesuai denga ciri khas dan potensi daerah.
Di satuan pendidikan
kegiatan mejejaitan dapat diintegrasikan pada mata pelajaran Agama (Agama
Hindu) dan juga kegiatan ekstrakurikuler. Dengan demikian di satuan pendidikan
remaja putri Bali dapat belajar mejejaitan untuk menumbuhkan life skillnya.
Yang nantinya bisa diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk memotivasi peserta
didik terutama remaja putri mejejaitan pihak satuan pendidikan sering
melaksankan lomba membuat banten (sejaji) saat hari-hari Suci Agama Hindu. Banten
yang dibuat selain diberikan hadiah bagi yang menang juga nantinya akan
dipergunakan sebagai sarana
persembahyangan. Dalam kegiatan lomba mejejaitan ini akan nampak budaya gotong
royong, tanggung jawab, dan integritas, serta religius sebagai konsep penanaman
nilai-nilai karakter.
Gotong royong artinya
mereka bekerja bersama-sama untuk mejejaitan melengkapi bagian-bagian banten
yang akan dibuat. Tanggung jawab artinya mereka harus menyelesaikan banten
dengan baik dan tepat waktu. Integritas artinya harus jujur dalam proses
mengerjakan banten, tidak ada peserta lomba yang membawa jaitan yang sudah jadi
dari rumah. Semua jejaitan dikerjakan di tempat lomba. Religius artinya banten
yang dibuat akan dipersembahkan kepada Tuhan Yang maha Esa, oleh karena itu
saat mejejaitan dilakukan, kebersihan dan kesucian sarana dan prasaran serta pikiran harus
dijaga.
Mejejaitan dapat juga
dijadikan sebagai peluang bisnis bagi rumah tangga untuk meningkatkan
perekonomian keluarga. Kenapa bisa
dijadikan peluang bisnis??? Di jaman globalisasi sekarang ini, semua harus
praktis dan serba cepat, apalagi perempuan Bali sudah setara dengan kaum
laki-laki sudah banyak sibuk menjadi wanita karir dan cenderung akan membeli segala
perlengkapan persembahyangan. Nah peluang ini akan dilirik oleh perempuan Bali
yang tidak menjadi wanita karir. Mereka akan menjual banten. Kebutuhan banten
di Bali tidak saja setiap hari Raya Suci melainkan setiap hari yang akan
dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber
1.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sisten
Pendidikan Nasional
3.
https://www.balitoursclub.net/pulau-dewata-bali/
4.
https://www.rentalmobilbali.net/10-pura-terbaik-di-bali/
Kaum milenialpu wajib untuk tetap melestarikan budaya bali
BalasHapus